Rabu, 11 Januari 2012

Dilaporkan Meras, Kajari Cuma Ditarik Ke Kejagung

JAKARTA, (TRIBUNEKOMPAS)
By: Anto.


- Dilaporkan memeras seorang saksi kasus korupsi, Kepala Kejaksaan Negeri Takalar, Sulawesi Selatan, Rakhmat Harianto hanya ditarik ke Kejaksaan Agung sebagai jaksa fungsional.

“Sudah dicopot dari jabatan strukturalnya. Selanjutnya, dia di­tarik ke Kejaksaan Agung untuk nanti ditempatkan. Dia tidak me­megang jabatan lagi,” ujar Jak­sa Agung Muda Pengawasan (Jam­was) Marwan Effendy.

Menurut Marwan, proses pe­me­riksaan terhadap Rakhmat Ha­rianto masih berlangsung. Lan­taran itu, pihaknya belum bisa memastikan, apakah ada dugaan tindak pidana pemerasan atau ti­dak. Jamwas menambahkan, jaja­r­annya masih perlu mengecek sejumlah informasi lain yang ma­suk ke Kejaksaan Agung me­nge­nai laporan tentang pemerasan itu. “Dugaan tindak pidananya ma­sih kami dalami,” ujarnya.

Bila memang alat buktinya kuat untuk ditindaklanjuti secara pidana, maka Jamwas akan mela­por­kan kasus Kajari Takalar ke kepolisian. Seperti melaporkan jaksa Cirus Sinaga ke Bareskrim Mabes Polri terkait perkara pe­mal­suan dan pembocoran ren­ca­na tuntutan (rentut) terhadap Ga­yus Tambunan, Pegawai Negeri Direktorat Jenderal Pajak, Ke­men­terian Keuangan.

Akan tetapi, lanjut Marwan, se­jauh ini alat bukti pemerasan yang diduga dilakukan Kajari Ta­kalar belum kuat. “Menurut Ka­ja­ri yang dikuatkan Kasi, tidak be­gitu ngomongnya. Rekaman itu tidak utuh, jadi terkesan ada upa­ya pemerasan. Kalau utuh kata-katanya, dia hanya ber­se­lo­roh. Mungkin ada upaya men­dis­kreditkannya, karena dia banyak menangani perkara korupsi di Takalar,” kata Jamwas.

Selain memeriksa Rakhmat Harianto, jajaran Jamwas juga ma­sih memroses Kepala Seksi Pi­dana Umum (Kasi Pidum) Ke­jaksaan Negeri Takalar, Tuwo yang turut dilaporkan. “Masih pro­ses, tapi usulannya belum sam­pai ke saya, masih di Ins­pektur,” ujar Marwan.

Jaksa Agung Basrief Arief te­lah memerintahkan Jaksa Agung Muda Pengawasan untuk mem­pro­ses dua jaksa tersebut. Bah­kan, Jaksa Agung sudah me­nun­juk Pelaksana Tugas Kajari Taka­lar untuk menggantikan Rakhmat.

Sementara itu, pada pergantian tahun 2011 ke 2012, jajaran Jaksa Agung Muda Pengawasan sudah memroses ribuan laporan pelang­garan jaksa dari seluruh Indo­nesia. Hingga Desember 2011, pa­par Marwan, ada 889 laporan yang tersisa, itu pun masih diker­jakan. “Semua laporan yang ma­suk sudah kami proses. Yang be­lum selesai itu kebanyakan dari daerah, masih kami proses.”

Marwan menjelaskan, pada Desember 2010, pihaknya men­da­pat tanggung jawab mene­rus­kan penyelesaian tunggakan 910 laporan pelanggaran jaksa. Se­dang­kan selama 2011, Jamwas mendapatkan 1.550 laporan lagi. “Yang sudah terselesaikan pro­ses­nya sebanyak 1.571 laporan, sisanya 889 kami kebut.”

Hingga akhir tahun 2011, kata Marwan, pihaknya sudah men­ja­tuhkan sanksi terhadap 227 terla­por yang terbukti membuat ke­salahan. Para jaksa dan staf tata usaha (TU) yang terbukti me­la­ku­kan pelanggaran, mendapatkan sanksi sesuai jenis pelang­ga­ran­nya. Jenis sanksi dibagi tiga ka­te­gori, yaitu hukuman tingkat ri­ngan, hukuman tingkat sedang dan hukuman tingkat berat.

Untuk sanksi berat, Kejagung menghukum 110 terlapor, dengan rincian: pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS sebanyak 19 orang, pemberhentian dengan ti­dak hormat sebagai PNS se­ba­nyak 20 orang, penurunan pang­kat s­etingkat lebih rendah seba­nyak 28 orang, pembebasan jaba­tan fung­sional jaksa sebanyak 10 orang dan pembebasan dari jabatan struk­tural sebanyak 33 orang.

Rekaman Itu Disampaikan Ke Kejagung

Kepala Kejaksaan Negeri Ta­kalar, Sulawesi Selatan, Rakhmat Harianto dan Kepala Seksi Pi­dana Umum Kejari Takalar, Tu­wo dilaporkan kepada Jaksa Agung Basrief Arief karena di­duga memeras seseorang yang diperiksa sebagai saksi perkara korupsi. Laporan itu kemudian ditangani jajaran Jaksa Agung Muda Pengawasan.

Dugaan pemerasan itu, ber­mula saat seseorang bernama Rommy Hartono Theos me­min­jamkan Rp 160 juta kepada te­man­nya yang bernama William pada 2009 untuk modal usaha. Uang itu digunakan William un­tuk membuat kapal.

Selanjutnya, pada 25 No­vem­ber 2011, William bersama se­se­orang bernama Sirajuddin Andi Ismail diduga melakukan korupsi proyek pengadaan kapal penye­be­rangan sebanyak 2 unit pada Dinas Perhu­bungan Kabupaten Takalar. Proyek tersebut bernilai Rp 1,5 miliar.

Rommy kemudian dipanggil Kejari Takalar untuk diperiksa ter­kait kasus tersebut. “Klien kami tak tahu menahu mengenai pengadaan kapal itu, tak menge­nal Sirajuddin, tak pernah ber­hu­bungan dengan Dinas Perhu­bu­ngan dan tak mengerti mengapa dipanggil. Dia hanya tahu me­minjamkan uang kepada saha­bat­nya, William, yang katanya akan dipakai sebagai modal usaha,” ujar kuasa hukum Rommy, Anang Yuliardi Chaidir.

Kendati begitu, lanjut Anang, Rom­my bersedia datang untuk menghormati kejaksaan, guna memberikan keterangan. “Tapi, awal kedatangan klien kami ini­lah yang menjadi awal peme­ra­san, inti­midasi dan makian Ka­jari Takalar Rakhmat Harianto,” ujarnya.

Menurut Anang, untuk penga­manan, Rakhmat meminta uang Rp 100 juta kepada Rommy. “Te­tapi klien kami tidak me­nan­g­ga­pi­nya,” ujar dia.

Ka­rena tidak memenuhi per­min­taan Rakhmat, lanjut Anang, Rommy sering ditelepon dan di­maki-maki. Bahkan, menurutnya, kata-kata kasar dan tidak senonoh kerap disampaikan Rakhmat kepada Rommy.

Pada 13 Desember 2011, Rakh­mat menelepon Rommy dan me­nyuruh untuk datang diperiksa jam 9 pagi. Tapi, Rommy baru dit­emui Rakhmat pukul 4 sore. Rommy kemudian merekam pem­bicaraannya dengan Rakh­mat. “Pada hari itu, Rakhmat kem­bali memeras klien kami se­besar Rp 500 juta. Rommy sudah tak tahan, dia merekam semua pertemuan itu. Rekamannya su­dah disampaikan ke Kejaksaan Agung,” cerita Anang.

Ketika dikonfirmasi, Jaksa Agung Muda Pengawasan Mar­wan Effendy membenarkan, ada laporan mengenai Rachmat me­ngancam akan menjadikan sese­orang tersangka jika tidak dibe­rikan Rp 500 juta. “Kalau dib­er­i­kan, katanya tidak akan dijadikan tersangka. Kacau yang begini ini,” tandasnya.

Tak Boleh Ragu Beri Hukuman

Laica Marzuki, Pensiunan Hakim Agung


Pensiunan hakim agung Laica Marzuki mengingatkan para penegak hukum, seperti hakim, jaksa dan polisi agar menjaga kepercayaan publik terhadap penegakan hukum.

Lantaran itu, kata Laica, jika ada aparat penegak hukum yang malah terbukti melakukan pemerasan, menerima suap dan tindak pidana korupsi lainnya, maka harus diberikan hukuman seberat-beratnya.

“Ketika terjadi suatu pelang­ga­ran, seperti aparat hukum memeras dan menerima suap, maka tak boleh kepalang tang­gung, harus dihukum seberat-beratnya jika terbukti. Aparat pe­negak hukum harus jujur, tidak boleh dibeli,” ujar Lacia Marzuki kemarin.

Setiap perilaku menyimpang aparat penegak hukum, lanjut Laica, akan menjadi cacat di ha­dapan masyarakat. Hal itu pula yang akan menimbulkan keti­dak­percayaan masyarakat ke­pada hukum. “Maka jangan me­nyimpang. Sebab, bila me­la­ku­kan pelanggaran, publik tidak akan percaya lagi. Karena itu­lah, penegak hukum yang me­la­ku­kan pelanggaran perlu dihu­kum seberat-beratnya,” ujar dia.

Dia mengatakan, untuk me­nim­bulkan efek jera, maka apa­rat penegak hukum yang me­la­ku­kan pelanggaran mesti dike­na­kan sanksi berat.

“Tidak bo­leh ada keragu-raguan men­jatuhkan hukuman berat kepada aparat penegak hu­kum yang memeras, mene­rima suap atau melakukan pelang­ga­ran lainnya. Jangan sampai pub­lik kehilangan kepercayaan ke­pada penegakan hukum karena sanksinya ringan,” katanya.

Jika publik sudah sampai pada titik krisis kepercayaan kepada hukum dan aparaturnya, lanjut Laica, maka situasi ma­sya­rakat dapat digambarkan su­dah dalam keadaan sangat be­r­bahaya.

“Kalau terjadi krisis keper­cayaan publik kepada hukum, maka akan terjadi malapetaka, akan terjadi aksi main hakim sendiri. Jangan sampai krisis kepercayaan itu terjadi. Silakan hukum aparat penegak hukum yang melakukan pelanggaran,” ujarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar